Selamat malam semuanya. Malam ini aku akan memposting salah satu catatan atau notes dari salah satu temanku di media sosial. Semoga teman-teman terkesan :)
Selamat membaca.
Catatan ini untuk kemarin (13 September 2013)
Bersyukur sekali minggu pertama terjun bebas di dunia pekerjaan akhirnya terlewati juga, meski dengan banjiran air mata melankolis, hahaha. Juga, terimakasih Tuhan telah menyediakan beberapa orang yang mau ditanya-tanya, karena ketidak-mudenganku (ketidaktahuan-red) pada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan seorang guru.
Terlebih bersyukur juga untuk perlindungan-Nya dalam perjalanan pulangku ke rumah Jumat malem kemarin. Pujian serta syukurku memang layak ditinggikan untuk Allah satu-satunya, karena Ia perlihatkan kehidupan malam yang padat di Jakarta dan aku sangat menikmati dan mensyukurinya.
Kududuk di bis kota dengan badan dan mata yang lelah. Tidak beberapa lama kemudian, pengamen demi pengamen silih berganti mendendangkan berbagai jenis lagu dengan iringan gitar tuanya. Ada yang menyanyikan lagu-lagu indie atau lagu-lagu dengan lirik-lirik puitis, kritis, dan keras. Ada juga yang menyanyikan lagu-lagu band dengan suara meliuk-liuk. Ada pula yang menyanyikan lagu aliran Jamaika atau reggae dengan tabuhan jimbe-nya yang khas. Musik-musik gratis bawaan para pengamen itu mengiringiku memandang kepadatan kota pada malam hari. Kendaraan-kendaraan yang mulai memadat di jalan raya karena sudah jamnya pulang kerja, gedung-gedung yang menjulang tinggi nampak menjadi ornamen kota yang cantik karena kilauan lampu-lampunya, suara klakson bergema dimana-mana, dan aku hanya diam sambil menikmati, juga mensyukurinya.
Tiba di terminal Blok M, kunaiki bis kota tanpa AC dengan gaya mengemudi si sopir yang seperti sedang mengendarai mobil mogok. Aku duduk di dekat pintu masuk sambil mengedarkan pandangan ke suasana malam di terminal Blok M dengan mulut dan hidung yang kututupi tissu karena tidak ingin menghirup polusi. Nampak orang-orang yang baru pulang kerja berwajah dua: wajah letih karena seharian bekerja bercampur wajah bersukacita karena telah tiba di pintu gerbang week-END! Seperti yang kurasakan juga. Selain itu, beberapa pria muda berpenampilan lusuh dan seadanya pun menjinjing gitar mereka, beberapa kulihat berjalan sambil menikmati udara malam yang penuh polusi sambil memetik gitar dan bersenandung. Betapa para pengamen jalanan itu mengajarkan tentang bersyukur dengan apa yang ada.
Keluar dari terminal Blok M, di jalanan yang untungnya tidak begitu macet, kulihat juga beberapa gerobak yang penuh barang memarkirkan dirinya di trotoar di depan gedung-gedung besar, di sebelah gerobak ada seorang ibu tua renta bersama anak-anak kecilnya yang penampilannya tidak kalah lusuh dengan gerobaknya. Gerobak itu adalah rumahnya nampaknya. Seandainya kubisa mengabadikan potret kondisi ibu berumah gerobak di depan gedung besar yang kokoh ini, akan kujuduli potret ironi ibukota. Potret yang dengan kebisuannya mengajarkan banyak hal tentang bersabar, bersyukur, dan tidak menuntut.
Terimakasih Tuhan untuk suasana padatnya ibukota yang kunikmati semalam. Aku bersyukur di tengah keletihan yang ada, aku masih bisa menikmati dan belajar banyak darinya. Terimakasih Tuhan untuk setiap hal yang Tuhan sediakan di sekitarku dan pilihan untuk menikmati, juga mensyukurinya.
sumber : Facebook Notes by Rayi W Karyadi
Dengan perubahan seperlunya.
Tweet
Selamat membaca.
Catatan ini untuk kemarin (13 September 2013)
Bersyukur sekali minggu pertama terjun bebas di dunia pekerjaan akhirnya terlewati juga, meski dengan banjiran air mata melankolis, hahaha. Juga, terimakasih Tuhan telah menyediakan beberapa orang yang mau ditanya-tanya, karena ketidak-mudenganku (ketidaktahuan-red) pada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan seorang guru.
Terlebih bersyukur juga untuk perlindungan-Nya dalam perjalanan pulangku ke rumah Jumat malem kemarin. Pujian serta syukurku memang layak ditinggikan untuk Allah satu-satunya, karena Ia perlihatkan kehidupan malam yang padat di Jakarta dan aku sangat menikmati dan mensyukurinya.
Kududuk di bis kota dengan badan dan mata yang lelah. Tidak beberapa lama kemudian, pengamen demi pengamen silih berganti mendendangkan berbagai jenis lagu dengan iringan gitar tuanya. Ada yang menyanyikan lagu-lagu indie atau lagu-lagu dengan lirik-lirik puitis, kritis, dan keras. Ada juga yang menyanyikan lagu-lagu band dengan suara meliuk-liuk. Ada pula yang menyanyikan lagu aliran Jamaika atau reggae dengan tabuhan jimbe-nya yang khas. Musik-musik gratis bawaan para pengamen itu mengiringiku memandang kepadatan kota pada malam hari. Kendaraan-kendaraan yang mulai memadat di jalan raya karena sudah jamnya pulang kerja, gedung-gedung yang menjulang tinggi nampak menjadi ornamen kota yang cantik karena kilauan lampu-lampunya, suara klakson bergema dimana-mana, dan aku hanya diam sambil menikmati, juga mensyukurinya.
Tiba di terminal Blok M, kunaiki bis kota tanpa AC dengan gaya mengemudi si sopir yang seperti sedang mengendarai mobil mogok. Aku duduk di dekat pintu masuk sambil mengedarkan pandangan ke suasana malam di terminal Blok M dengan mulut dan hidung yang kututupi tissu karena tidak ingin menghirup polusi. Nampak orang-orang yang baru pulang kerja berwajah dua: wajah letih karena seharian bekerja bercampur wajah bersukacita karena telah tiba di pintu gerbang week-END! Seperti yang kurasakan juga. Selain itu, beberapa pria muda berpenampilan lusuh dan seadanya pun menjinjing gitar mereka, beberapa kulihat berjalan sambil menikmati udara malam yang penuh polusi sambil memetik gitar dan bersenandung. Betapa para pengamen jalanan itu mengajarkan tentang bersyukur dengan apa yang ada.
Keluar dari terminal Blok M, di jalanan yang untungnya tidak begitu macet, kulihat juga beberapa gerobak yang penuh barang memarkirkan dirinya di trotoar di depan gedung-gedung besar, di sebelah gerobak ada seorang ibu tua renta bersama anak-anak kecilnya yang penampilannya tidak kalah lusuh dengan gerobaknya. Gerobak itu adalah rumahnya nampaknya. Seandainya kubisa mengabadikan potret kondisi ibu berumah gerobak di depan gedung besar yang kokoh ini, akan kujuduli potret ironi ibukota. Potret yang dengan kebisuannya mengajarkan banyak hal tentang bersabar, bersyukur, dan tidak menuntut.
Terimakasih Tuhan untuk suasana padatnya ibukota yang kunikmati semalam. Aku bersyukur di tengah keletihan yang ada, aku masih bisa menikmati dan belajar banyak darinya. Terimakasih Tuhan untuk setiap hal yang Tuhan sediakan di sekitarku dan pilihan untuk menikmati, juga mensyukurinya.
sumber : Facebook Notes by Rayi W Karyadi
Dengan perubahan seperlunya.
Tweet
Post a Comment for "Potret Malam Ibukota by Rayi W Karyadi"